KEPRILINGGAOPINIRAMADHANRELIGI

OPINI : Refleksi Ramadhan Dalam Membangun Kejujuran

×

OPINI : Refleksi Ramadhan Dalam Membangun Kejujuran

Share this article
H Muhammad Nasir S.Ag MH, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lingga. (Foto : Ist)

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Male” buttontext=”Malas Baca, Tekan Ini”]

OPINI : Refleksi Ramadhan Dalam Membangun Kejujuran
Oleh : H Muhammad Nasir S.Ag MH
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lingga

Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita
Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita

SIJORIKEPRI.COM — Tanpa terasa, saat ini kita kembali bertemu dengan Bulan Suci Ramadhan, bulan suci yang didalamnya orang-orang beriman berpuasa. Bulan yang didalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan (Khairum min – alfi Syarrin).

Datangnya Bulan Ramadhan merupakan karunia dan anugerah Allah yang amat besar. Allah SWT memberikan kesempatan kepada manusia untuk memperbaiki diri, menyempurnakan penghambaannya melalui ketaatan berpuasa dan beribadah, serta amalaliyah lainnya di bulan Ramadhan. Kita jadikan Ramadhan sebagai wadah gerakan memperkuat sendi kehidupan beragama dan kehidupan sosial menuju ketaqwaan yang sesungguhnya. ( Qs : Al-Baqarah 183 ) :

( Qs Al-Baqarah 183 )

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ( Qs. 2 : 183 ).

Sebelas bulan, kita tenggelam dalam arus waktu yang berputar melingkar. Sejak bangun tidur, sampai tidur kembali. Selama sebelas bulan itu pula kita terlengah dari upaya untuk berkontemplasi, mengarungi samudera batin. Bagaikan tak berdaya, kita mengikuti sebuah arus waktu yang begitu deras mengalir menuju pada satu muara universal, yaitu mortal vitalis, alias kematian. Dan, bagaikan disentakkan dengan sebuah surprised, kini kita berhadapan dengan ramadhan, bulan seribu bulan, bulan yang mengalir gemuruh pengampunan, maghfiroh. Panorama kesyahduan ibadah tiada taranya.

Padang gersang, jiwa yang meratap, kini boleh berbunga-bunga karena masih ada tersisa waktu untuk mengarungi citra air surgawi. Bagaikan pohon yang layu selama sebelas bulan, tegak dan segar kembali karena mendung mulai bergelayutan untuk mencurahkan rahmat-Nya. Pemandangan kesyahduan tiada tara, sebentar lagi terbentang dihadapan kita. Bahagianya saat berbuka puasa dengan seluruh anggota keluarga, suara tadarus yang ritmis dan syahdu, kaum pria yang menyandang sajadah diiring para wanita yang bertelekung mukena menuju masjid untuk bertarawih.

Bagi kita, seruan untuk menjalankan seluruh perintah Allah, bukan lagi dilihat dari segi “kewajiban”, tetapi meningkat menjadi suatu “kebutuhan”, karena kita menyadari bahwa setiap gerak ibadah merupakan upaya untuk memanusiakan diri kita sendiri, memuliakan dan menjadikan diri kita sebagai makhluk yang terus melangkah menuju pada tahapan ideal sebagai Al-Insan Al Kamil, manusia paripurna.

BACA JUGA :  Antisifasi Filariasis “DARAH WARGA DIPERIKSA”

Apabila melihat ibadah sebagai kewajiban, terasa masih ada suasana keterpaksaan (external enforcement). Sebaliknya, apabila kita mempersepsinya sebagai kebutuhan, maka ibadah yang kita lakukan merupakan suatu dorongan murni yang tumbuh dari nurani kita sendiri, calling from within.

Begitu pula dengan puasa (As-Shoum) di bulan Ramadhan, seharusnya kita melaksanakannya dengan penuh suka cita, karena Ramadhan merupakan program vaksinasi mondial yang akan memperkuat diri dengan berbagai vitamin batin yang maha dahsyat, membentengi diri dari segala penyakit rohani yang akan merusak tatanan keluhuran akhlak.

Kalau kita melaksanakan shalat atau naik haji, orang lain dapat menyaksikan diri kita. Bacaan Imam yang salah sewaktu memimpin shalat bisa langsung dikoreksi oleh makmum, bahkan ibadah naik haji tidak mungkin sendirian, karena membutuhkan kerjasama dengan orang lainnya.

Tetapi dalam hal kita menjalankan ibadah puasa, orang lain tidak ada yang tahu. Kita bisa saja bersembunyi sewaktu makan siang di kantor. Dan ketika pulang berpura-pura lesu, seraya mengaku kepada istri bahwa anda sedang berpuasa. Istri tertipu, mertua dibohongi, anak-anak di rumah terkecoh.

Tetapi ketahuilah, bahwa semuanya itu merupakan rangkaian dari upaya untuk menipu diri sendiri. Dengan demikian, tampaklah bahwa puasa merupakan suatu program pelatihan jiwa yang mengajak manusia untuk menjadi makhluk yang ikhlas dan jujur dalam menjalankan misi kehidupannya.

Kalau kita baca realitas kehidupan kita hari ini , baik di kalangan elit politik maupun pada kalangan intelektual, dan bahkan sampai di kalangan orang-orang penentu kebijakan di negeri ini ikhlash dan kejujuran sudah mulai terangkat dan tercerabut dari kehidupan sosial masyarakat kita. Bahkan kecurangan dan kebohongan sudah dipertontonkan tanpa ada rasa malu di hadapan kita.

Ini artinya, bahwa moralitas kejujuran sudah kehilangan daya sadar dan tak mampu lagi untuk diamalkan sebagai kepribadian orang yang beriman. Padahal salah satu identitas yang sangat penting apalagi dalam system pembangunan apa saja kejujuran merupakan kata kunci yang tak dapat ditawar-tawar.

BACA JUGA :  Ibu-Ibu Bhayangkari, KCK dan Jalasenastri “KOMPAK BERBAGI TAKJIL”

Sampai saat ini, belum pernah kita dengar ada Akademi atau Fakultas Kejujuran jurusan Keikhlasan. Atau Fakultas Berdisiplin jurusan Tepat Waktu atau Fakultas Ilmu amanah jurusan Anti Korupsi. Dan sudah dapat kita pastikan tidak mungkin ada yayasan yang mau iseng membuat institusi seperti ini, karena mana ada mahasiswa yang mau mendaftar?

Padahal betapa langkanya mencari manusia yang memiliki budaya ikhlas dan jujur seperti hari ini. Mulai dari Iklan, salesman, sampai kaum politisi (yang telah mengumbar janji waktu kampanye) dan dengan bangganya mengaku sebagai wakil rakyat sekalipun, kiranya sangat sulit menghindar dari kebohongan (walau tentu saja mereka mengakunya, diplomatis taktis etc. etc.), sungguh sulitnya menemukan pribadi yang lugas, jujur dan ikhlas.

Oleh sebab itu, harapan kita semua Ramadhan tahun ini merupakan samudera latihan untuk menjadikan kita semua sebagai manusia-manusia yang berani tampil beda seraya mengacungkan bendera kejujuran.

Suatu saat, Rasulullah menyaksikan seorang wanita yang sedang memaki-maki pembantunya, padahal pembantunya tersebut sedang dalam berpuasa. Menyaksikan kejadian ini, kemudian Nabi mengambil makanan, dan berkata, “makanlah!”. Wanita itu berkata : “Ya Rasul, saya ini sedang berpuasa”. Kemudian Nabi menjawab, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah engkau maki pembantumu.

Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai perisai, selain makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perbuatan tercela yang merusak nilai puasa”. Dan sambil berlalu, Rasulullah berkata, “Ma aqollashshowwan, wa ma aktsarol jawwa (alangkah sedikitnya orang yang berpuasa, alangkah banyaknya orang yang lapar).”

Disamping itu salah satu dari perbuatan yang terpuji di bulan Ramadhan adalah memperbanyak tadarus Al Qur’an. Dan tentu saja, kita tidak berhenti hanya pada tadarus, kemudian berlomba-lomba untuk menghatamkannya di bulan tersebut, tetapi yang paling hakiki adalah sebuah efek batiniyah dari bacaan tersebut, yaitu sebuah kerinduan untuk memahami, menghayati, dan kemudian mempraktekkan apa yang kita baca dalam kehidupan, sehingga tampilah perilaku kita sebagai perilaku yang Qur’ani, menjadi the Man of Qur’an, the Walking Qur’an.

BACA JUGA :  Minyak Goreng Oplosan Berbahaya Beredar di Lingga

Sungguh kita menyaksikan, betapa banyaknya petunjuk Al Qur’an telah tercecer dan terbengkalai dikarenakan umat tidak lagi sungguh-sungguh memahami maknanya dan apalagi mengamalkan isinya. Seakan-akan Al-Qur’an hanya tinggal lagu dan bacaan, tetapi tidak banyak memberikan pengaruh pada perilaku masyarakat (umat Islam).

Padahal petunjuk utama dan pertama bagi setiap pribadi bahkan masyarakat muslim itu, tidak lain berangkat dan berawal dari ruh Kitabullah, the spirit of Qur’an yang harus mendarah mendaging menyatu dengan dengusan nafas kita semua.

Ramadhan adalah bulan shadaqoh, khususnya kepada para konglomerat muslim, ada kewajiban bagi mereka untuk memberikan zakat hartanya. Sebab itu, kita sebagai sesama saudaranya selalu berdo’a semoga para usahawan muslim mampu berkembang dan tumbuh, karena mereka pasti terkena kewajiban zakat, bahkan ada nafas da’wah di perusahaannya tersebut (lihat saja Bimantara mampu membuat rumah sakit Al Qodar. Maka sudah saatnya bagi kita untuk ikut aktif menjaga dan merasakan kebanggaan kepada para pengusaha muslim yang nota bene sebagian hartanya pastilah memercik kembali kepada umat.

Mereka yang diberi berkah oleh Allah, dan kebetulan pula mempunyai giroh dan muru’ah Islamiyah, pastilah menyadari bahwa mereka adalah the few rich Moslem among the million poor Moslem. Adakah orang lain mempedulikan nasib saudara kita yang miskin, kalau bukan kita sendiri. Khususnya pengusaha muslim,
seruan untuk melaksanakan puasa, hanya ditujukan kepada orang yang beriman. Yaitu mereka yang senantiasa berupaya dengan penuh kesungguhan untuk melaksanakan tatanan ajaran Islam.

Sebab itu, mari kita nikmati dan sambut Ramadhan tahun ini dengan semangat kecintaan dan kebahagiaan, agar Allah SWT menutup dan menghapus segala dosa dan bahkan menutup pintu neraka, membuka pintu sorga serta mengunci tipudaya syaithan untuk kita. Allahu a’lam bissowab. ***