BINTAN

Proyek Smelter Tahap I Belum Rampung

×

Proyek Smelter Tahap I Belum Rampung

Share this article

BINTAN (SK) — “Pembangunan pabrik smelter atau pengolahan biji bauksit di kawasan PT Bintan Alumunia Indonesia (BAI) Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang untuk tahap I masih belum rampung.” demikian disampaikan Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BPMPD) Bintan, Mardiah belum lama ini.

“Untuk saat ini masih dalam pengerjaan tahap pertama, karena belum selesai semuanya. Baru pengerjaan TKUS saja dengan memasang pancang tiang pelabuhan,” ungkap Mardiah sebagaimana dilansir haluankepri.com.

Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita
Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita

Menurutnya, untuk progres pembangunan, pihaknya tidak dapat melaporkan secara rinci mengenai persentase progres pembangunan pabrik smelter.

“Yang jelas, pembangunan pabrik smelter dilakukan secara multi years dengan 3 tahapan. Pertama, pembangunan terminal Untuk kepentingan sendiri (TKUS). Kedua, pembangunan infrastruktur bangunan pabrik. Ktiga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 3 X 25.000 megawatt sebagai pasokan tenaga listrik di smelter,” terang Mardiah.

BACA JUGA :  Puting Beliung Serang 4 Rumah di Bintan

Selain belum rampungnya pengerjaan tahap pertama, kini kendala lain seperti masalah status lahan mulai menjadi perhatian pihaknya.

Karena sebagian besar kawasan yang dipakai untuk pembangunan pabrik smelter masih berada dalam kawasan Free Trade Zone (FTZ).

“Kita masih mengusulkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat untuk dilakukan perluasan kawasan FTZ secara menyeluruh untuk mendukung kegiatan pembangunan smelter ini,” akunya.

Yang jelas, lambannya pembangunan pabrik pengolahan biji bauksit ini mengusik para pengusaha tambang bauksit serta pengamat sosial.

Mantan penambang sekaligus Anggota DPRD Bintan, Hasriawadi menilai kebijakan dari pemerintah yang melarang kegiatan ekspor biji bauksit mentah harusnya dibarengi dengan solusi tepat untuk mengatasi permasalahan yang akan muncul dengan adanya kebijakan tersebut.

Dengan dibangunnya smelter di Bintan, menurut Hasriawadi sangat tidak tepat, karena para pelaku tambang harus menutup usahanya dan berdampak terhadap meningkatnya angka pengangguran akibat dari adanya larangan ekspor biji bauksit mentah.

BACA JUGA :  PNPM Pedesaan di Bintan Capai Rp 20 Miliar

“Ini bukan suatu solusi yang tepat, karena ketika kebijakan larangan ekspor biji bauksit mentah sudah diterapkan, artinya para pelaku usaha mesti mengolah bauksit mentah sebelum di ekspor di pabrik smelter. Sedangkan pembangunan smelter hingga saat ini belum ada yang menunjukkan progres pembangunan seperti yang diharapkan,” beber Hasriawadi.

Pria yang akrab disapa Gentong itu berharap, penyerapan tenaga kerja lokal untuk bekerja di smelter nantinya mesti dipertimbangkan. Karena bila smelter tersebut tidak bisa menyerap tenaga kerja lokal dengan maksimal, artinya pemerintah bukannya membuka lapangan pekerjaan, justru menutup lapangan pekerjaan.

“Nanti kalau sudah selesai dibangun (Smelter), harus bisa menyerap tenaga kerja lokal secara besar. Karena akibat ditutupnya penambangan bauksit pasca larangan pemerintah, banyak angka pengangguran,” ujarnya.

Namun, dari segi dampak sosial, pengamat sekaligus akademisi di Stisipol Raja Haji Tanjungpinang, Suyito, M.Si menilai, dengan adanya pembangunan smelter memang sangat efisien jika dilihat dari segi ekonomi.

BACA JUGA :  Bintan Peringati Nuzulul Qur'an 1439 H “DI DESA TELUK SASAH”

Karena barang (biji bauksit-red) yang biasanya di ekspor bukan lagi barang mentah, melainkan barang setengah jadi yang lebih memiliki nilai ekomoni.

Disisi lain, Suyito menilai, dampak pembangunan smelter tersebut sebagai solusi kebijakan larangan ekspor biji bauksit mentah berakibat terhadap perekonomian masyarakat.

“Dengan ditutupnya aktifitas pertambangan biji bauksit itu mengakibatkan para pelaku usaha memberhentikan aktifitasnya dan memutus hubungan kerja dengan karyawan yang merupakan warga setempoat,” kata Suyito.

Sehingga masyarakat yang awalnya mendapatkan kompensasi dari adanya aktifitas pertambangan, kini terpaksa tidak mendapatkan lagi dengan ditutupnya perusahaan pertambangan boksit.

“Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang ini sangat penting. Karena barang yang kita ekspor merupakan barang jadi yang lebih bernilai. Sedangkan secara disfungsionalnya sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat kita juga,” ungkap Suyito. (SK-WR/cw95)