TANJUNGPINANG (SK) — Proyek Pengelolaan air laut menjadi air minum, Sea Water Reserve Osmosis (SWRO), Pemerintah Provinsi Kepri, sampai saat ini masih terkendala. Padahal proyek tersebut dapat dikatakan telah selesai. Namun yang jadi permasalahanya adalah surat serah terima dari pusat ke daerah belum diterbitkan. Hal ini disampaikan Anggota DPRD Kepri, Rudi Chua, usai Rapat Paripurna Istimewa, di Ruang Rapat Utama, Balairung Raja Khalid, DPRD Provinsi Kepri, Dompak, Tanjungpinang, Selasa, (10/05/2016).
“SWRO sudah siap, dan untuk sambungan pipa ke rumah sekitar kurang lebih 2.800 pipa itu juga sudah siap. Namun yang menjadi permasalahan ialah Pemerintah Pusat melalui Kementrian PU dan Satker PU belum serah terima,” ungkap Rudi.
Dalam hal ini, Rudi juga mengatakan, penyebab terjadinya belum adanya serah terima, dikarenakan pada saat dari Pemerintah Pusat melalui Kementrian tersebut, menyurati kita kira-kira pada bulan Maret, meminta itu segera diambil.
“Namun, almarhum Pak Sani, pada saat itu membuat balasan meminta beberapa poin. Pertama biaya untuk operasi di tanggung bersama selama enam bulan, kemudian yang kedua peninjauan kerja sama, karena belum di tanda tangani dari kedua belah pihak, dan yang ketiga ditambah dengan sistem kontrak service,” Ungkapnya lagi.
Lanjut, Rudi, dalam tiga poin ini lah yang belum ada jawaban dari mereka (Kementrian PU, Red). Namun mereka juga sudah menjanjikan secara lisan akan menemui Pak Nurdin. Untuk menanyakan Flow Up lebih lanjut.
“Rencananya minggu ini, Kementrian PU akan mendatangi kita dan nanti kita akan konfirmasi ulang lagi,” tutur Rudi.
Disisi lain, menurut informasi yang disampaikan warga Tanjung Unggat Kota Tanjungpinang. Masyarakat telah lama menunggu SWRO ini. Pasalnya, SWRO dapat mengantisiapasi kemarau yang akan datang.
“Kami sangat berharap, proyek SWRO tersebut bisa segera beroprasi sesegera Mungkin, karena guna untuk mengantisipasi kemarau yang akan datang,” ujar Edi (43), Warga Tanjung Unggat.
Saat ini sambung Edi (43), mungkin masih belum memerlukannya, karena musim Hujan. Namun pada saat musim kemarau, kami merasa sangat membutuhkan untuk mengurangi biaya hidup.
“Jika sudah musim kemarau, kami harus membeli air melalui penjual air dari perahu air, dengan haraga Rp 10.000/ Derum dan yang jadi masalahnya lagi air juga tidak terjamin kebersihanya,” terangnya. (SK-RA/C)