TAJUK OLEH : PANJULI ARIANTO PANDIANGAN
Produksi rokok, meski sering ditentang, harus diakui merupakan salah satu sektor bisnis yang memberikan sumbangan besar bagi pemasukan negara lewat pita cukainya. Pabrik rokok legal juga menghidupi ribuan pekerja, terutama kaum wanita. Bahkan industri rokok juga menjadi sandaran hidup bagi jutaan petani tembakau di tanah air.
Manisnya bisnis rokok ternyata, membuat banyak orang ingin terjun ke bisnis ini. Itu bisa dilihat dari bermunculannya nama-nama rokok baru yang beredar di pasaran.
Selama berbagai jenis rokok itu resmi diperkenankan dijual di pasar bebas, tentu ini tak menjadi masalah. Tapi jika yang beredar itu adalah rokok ilegal atau non cukai, ini tentu menjadi persoalan serius. Fakta inilah yang terjadi di Kepulauan Riau.
Peredaran gelap rokok non cukai justru dilakukan terang terangan. Para pebisnis piawai ini memanfaatkan celah kebijakan kawasan bebas pajak atau free trade zone yang ada di berbagai wilayah di Kepri.
Pada Perinsipnya Badan Kawasan Free Trade Zone (FTZ) sudah nenentukan di Daerah mana saja yang menjadi kawasa peredaran barang bebas pajak. Namun aturan itu semua dilabrak pegusaha nakal itu hanya melancarkan bisnis haramnya, sehingga dapat merugikan Negara.
Rokok Non Cukai misalnya, Rokok buatan Batam ini diketahui telah lama bebas beredar di seluruh wilayah Nusantara, bukan hanya dikawasan FTZ saja, sebagai mana diatur dengan peruntukkannya, rokok ini pun sudah menyebar ke beberapa daerah tanpa dipajak sebagai mana di atur dengan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai.
Tidak tangung-tangung, jenis rokok tanpa cukai ini semakin banyak muncul berbagai macam merek, Antara lain, UN, Lukman, Rexo, dan lainya. Diperkirakan rokok ini mencapai Ribuan tin per hari.
Dengan memakai pola marketing yang handal, Pemasaran rokok ini meluas hingga tak terbendung, bahkan samapai ke Provinsi lain, seperti Riau daratan, hingga Pulau Sumatera, bahkan samapai ke Pulau Jawa.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan, kehadiran rokok ilegal tanpa cukai dapat mengancam industri rokok legal. Dan dijual lebih murah, karena tidak membayar cukai. Padahal, dari harga jual rokok, porsi pita cukai sebesar 60-70%.
Sebagian pajak rokok kembali ke pemerintah daerah. Sementara sebagian lainnya ada yang masuk PPN tembakau ke Direktorat Jenderal Pajak Sehingga impossible yang legal survive.
Berarti dari harga rokok non cukai ini sudah jelas tidak ada pembayaran ke pajak. Ini semua kalau bersaing dengan yang ilegal sama sekali tidak benar.
Fakta dilapangan, mencari rokok ini pun sangat mudah didapati. Mulai dari kios di emperan, hingga ke sejumlah Mini Market, rokok ini bebas diperdagangkan.
Sebaiknya Bea Dan Cukai (BC), sudah seharusnya menambah anggotanya agar dapat mencakup pelabuham-pelabuhan tikus yang dianggap menjadi akses masuk barang ilegal ini dilapangan.
Sehingga sigap menindak pelaku sebagi langkah mengakhiri pelanggaran dan penggelapan pendapatan pajak untuk Negara dan Daerah. ***