KEPRILINGGAOPINI

Romantisisme Sejarah Lingga “DAN AKU MALU PADA SEJARAH”

×

Romantisisme Sejarah Lingga “DAN AKU MALU PADA SEJARAH”

Share this article

SIJORI KEPRI — Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke-18 pada masa Revolusi Industri. Gerakan ini sebagian merupakan revolusi melawan norma-norma kebangsawanan, sosial dan politik dari periode Pencerahan dan reaksi terhadap rasionalisasi terhadap alam, dalam seni dan sastra.

Gerakan ini menekankan emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika, memberikan tekanan baru terhadap emosi-emosi seperti rasa takut, ngeri, dan takjub yang dialami ketika seseorang menghadapi yang sublim dari alam. Gerakan ini mengangkat seni rakyat, alam dan kebiasaan, serta menganjurkan epistemologi yang didasarkan pada alam, termasuk aktivitas manusia yang dikondisikan oleh alam dalam bentuk bahasa, kebiasaan dan tradisi.

Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita
Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita

Lingga merupakan pusat pemerintahan yang terkenal pada masanya. Mulanya pulau yang diberi nama Lingga ini diperintah oleh seorang pemimpin melayu yang sangat terkenal piawai bertempur terutama dilaut, bernama Datuk Megat Kuning Putra, dari Datuk Megat Merah Mata yang menurut kisah setempat berasal dari Pangkalan Lama di Jambi. Pada awal abad 18 Sultan Mahmud Syah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Johor – Riau ke Daik, Sang Datuk diberi gelar Orang Kaya Temenggung dan bermastautin di Mepar sebagai tempat pegangannya.

Namun seiring perkembangan zaman, Lingga kini tidak tampak menjadi central, Dalam hal ini untuk Kabupaten Lingga memiliki persoalan mendasar dengan memiliki angka persentase kemiskinan mencapai hingga 14,75 %. Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional.

BACA JUGA :  Penumpang Susi Air Kecewa

Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu. Aktor mendasar yang menyebabkan kemiskinan diantaranya SDM, SDA, Sistem, dan juga tidak terlepas dari sosok pemimpin, sehingga dimensi tersebut sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut serta dalam proses pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan.

Pada masa kesultanan, meskipun terus berganti sultan atau raja, Lingga merupakan daerah yang terkenal dalam hal perekonomian dan perdagangan serta memiliki akses yang sangat luas. Banyak pedagang yang datang seperti cina, bugis, keling, siak, Pahang dll. Saat itu jalan Jagoh ke Dabo pun terbuka, kemudian diperlengkap dengan kapal-kapal, diantaranya nama kapal-kapal tersebut ialah Kapal Sri Lanjut, Gempita, Betara Bayu, Lelarum dan Sri Daik, guna untuk memperlancar perekonomian rakyat, serta pada zaman itu pula berdirilah istana Damnah. Selanjutnya saat itu juga sawah padi ditukarkan dengan sagu (Rumbia) yang di datangkan dari Borneo Serawak dan membuka industri sagu tahun 1890, membuka penambangan timah di Singkep dan Kolong-kolong Sultan dengan Mandor yang terkenal pada zaman itu La Abok dan kulinya orang-orang Cina Kek, yang menurut ceritanya nama inilah nama Dabo Singkep. Pada zaman ini juga seni ukir, tenun, kerajinan, Mas dan perak sudah ada. Pusat kerajinan tenun di Kampung Mentuk, kerajinan Tembaga di kampong Tembaga.

BACA JUGA :  Kasus Korupsi Tunjangan Rumah Dinas DPRD Natuna : Sebuah Perbuatan Nista

Jika dibandingkan dengan saat ini, sebenarnya sektor Pertanian, kehutanan dan perikan masih merupakan kontributor terbesar dalam penciptaan nilai tambah perekonomian di Kabupaten Lingga, meskipun kontribusinya cendrung menurun setiap tahun. Besarnya kontribusi sektor ini mencapai angka Rp.719,94 Milyar. Kemudian disusul sektor selanjutnya, yakni konstruksi Rp.597,47 Miyar dan Perdagangan Besar dan Eceran Rp.578,72 Milyar. Masalah-masalah ini menjadi PR kita bersama, sejarah telah membuktikan kita mampu dan kita sebaiknya malu sama sejarah, jika tidak bisa mengembalikan masa keemasan saat kesultanan dulu.

Pembangunan dibidang fisik kini harus diimbangi dan dilengkapi dengan pembangunan dibidang mental spiritual, sehingga diharapkan akan ada keseimbangan dan keserasian antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Kehidupan beragama yang harmonis antara umat beragama di daerah ini telah terjalin dengan kokoh. Menurut sejarahnya sebagai pusat pemerintahan kerajaan Melayu di daerah ini, sejak dahulu kebudayaan dan adat-istiadat yang berkembang di daerah ini adalah budaya Melayu. Berada di tengah negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia, menjadi alasan utama daerah-daerah ini sebagai pulau strategis. Pergerakan perdagangan tersebut turut berpengaruh pada perkembangan budaya dan persebaran agama yang terjadi.

Akulturasi yang terjadi, dengan masuknya agama Budha, Hindu dan Islam sejak dahulu, yang dikuatkan dengan budaya melayu, membuat kondisi masyarakat tetap harmonis hingga saat ini. Kemudian dikuatkan dengan hubungan perdagangan yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini telah memberi corak dan warna tersendiri pada budaya melayu, serta memperkaya adat istiadat dan budaya penduduk.

BACA JUGA :  [OPINI] Pemilu di Masa Pandemi, Demokrasi atau Kesehatan?

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan regulasi tentang pendidikan masih belum jelas terealisasi dengan baik.

Dampak dari pendidikan yang buruk itu akan membuat negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kota dan kabupaten.

Dengan PAD yang rendah, bagaimana daerah mau meningkatkan mutu pendidikannya. Pada masalah ini, kondisi Kabupaten Lingga memiliki angka persentase tidak sekolah lagi yang sangat tinggi. Mencapai 24,86 %, menunjukkan lemahnya pendidikan di daerah tersebut. Kemudian untuk tenaga pengajar juga memiliki rasio yang jauh dengan jumlah murid yang ada di daerah tersebut. Perbandingan siswa dengan jumlah guru menentukan keberhasilan proses pembelajaran di sekolah.

Saat ini dengan lantang ku katakan, “Kembalikan kejayaan, kembalikan kesultananku, kembalikan kesejahteraan Rakyat, bersama kita bisa dan melayu takkan hilang ditelan bumi.” ***

OPINI oleh :
Eki Darmawan, S.Sos, M.IP
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)