COVID-19KEPRITANJUNG PINANG

“Saturasi Oksigen” Aviasi Indonesia Menurun, Terdampak Regulasi Yang Kerap Berubah

×

“Saturasi Oksigen” Aviasi Indonesia Menurun, Terdampak Regulasi Yang Kerap Berubah

Share this article
Diskusi panel HUT SEKARPURA II ke 22 bertajuk Saturasi Oksigen Aviasi Indonesia, menghadirkan 2 narasumber, Alvin Lie selaku Pengamat Penerbangan dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. (Foto : Ist)
Pengamat Penerbangan, Alvin Lie. (Foto : Ist)
Ketua YLKI, Tulus Abadi. (Foto : Ist)

Sijori Kepri, Tanjung Pinang — Serikat Karyawan PT Angkasa Pura II atau SEKARPURA II menggelar diskusi panel bertajuk “Saturasi Oksigen Aviasi Indonesia”, Kamis, (26/08/2021).

Diskusi panel yang digelar bertepatan di Hari Ulang Tahun (HUT) SEKARPURA II ke 22 Tahun 2021 ini menghadirkan 2 narasumber, Alvin Lie selaku Pengamat Penerbangan dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi.

Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita
Geser Untuk Lanjutkan Baca Berita

Pemeritah diharapkan dapat mengkaji ulang kebijakan atau regulasi terkait pergerakan masyarakat khususnya pengguna transportasi udara dalam masa Pandemi COVID-19.

Dimana, sejak mewabahnya Covid-19 di Tanah Air, regulasi yang mengatur persyaratan bagi masyarakat pengguna transportasi udara khususnya penerbangan domestik sangat cepat berubah.

Di awal pandemi, penumpang pesawat diminta menyertakan hasil negatif Covid-19 dengan metode Rapid Tes Antibody. Tidak lama kemudian menjadi Swab Antigen.

Namun, setelah vaksinasi digencarkan, kini penumpang pesawat wajib melakukan tes PCR sebagai salah satu syarat selain vaksinasi.

Hal ini pun disoroti oleh Pengamat Penerbangan, Alvin Lie.

Alvin Lie mengatakan, bahwa ada aturan yang terkesan diskriminatif terhadap transportasi udara. Salah satunya adalah persyaratan hasil negatif Covid-19 dengan metode PCR Test dan wajib vaksin bagi penumpang pesawat.

BACA JUGA :  Ini Profil Gubernur Kepulauan Riau Isdianto

“Saya kira yang pertama harusnya syarat untuk perjalanan udara disamakan dengan moda transportasi lain. Moda tranportasi yang paling banyak yang digunakan itu kan (tranportasi) darat, tapi justru paling longgar, tidak disiplin,” kata Alvin Lie.

“Pemerintah juga seharusnya mengapresiasi juga, bahwa transportasi udara selama ini paling ketat dan paling disiplin. Juga alat angkutnya ini, sebelum pandemi juga sudah dilengkapi HEPA filter, kemudian ada peraturannya penerbangan dibawah 2 (dua) jam tidak boleh makan, tidak boleh bicara, harus pakai masker. Ini kok masih ditambahin PCR lagi,” jelasnya.

Ia menuturkan, selain menyamakan persyaratan bagi pengguna transportasi udara, pemerintah juga diharapkan untuk mengampanyekan, bahwa terbang itu aman. Karena, dengan adanya sejumlah persyaratan untuk penumpang transportasi udara terkesan, bahwa terbang tidak aman.

“Dengan regulasi yang diskriminatif ini, justru menambah kesan publik, bahwa terbang itu tidak aman. Percuma saja Menteri Pariwisata mempromosikan daerah wisata tapi tidak mempromosikan penerbangan. Padahal daerah-daerah wisata itu membutuhkan tranportasi udara,” tuturnya.

Namun demikian, ia mendukung penuh program vaksinasi yang tengah digencarkan oleh pemerintah.

Senada dengan Alvin Lie, Ketua YLKI, Tulus Abadi, mengatakan, bahwa pemerintah terkesan diskriminatif terhadap sektor transportasi udara yang sangat merugikan konsumen.

BACA JUGA :  Polresta Barelang Ungkap Kasus Narkotika Seharga Rp 40 Juta di Tanjung Pinang

“Seharusnya memang pemerintah tidak seharusnya memberikan satu kebijakan yang diskriminatif pada sektor udara. Karena toh, ketika sektor udara dibatasi dengan ketat khususnya dengan tes PCR dan segala macam kemudian sektor lainnya tidak, mobilitas juga sama saja,” ujarnya.

Tulus Abadi mengatakan, adanya kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat dengan melakukan pembatasan penerbangan tidak mempengaruhi atau tidak membatasi mobilitas masyarakat lain, karena pengawasannya berbeda.

“Mobilitas jadi tidak terkendali dan akhirnya di satu sisi ingin membatasi penerbangan untuk membatasi mobilitas tapi mobilitas lain tetap jalan. Dengan adanya kebijakan yang sangat dinamis atau dalam bahasa terangnya adalah berubah-ubah, itu jelas sangat merisaukan konsumen dan sangat merugikan konsumen,” jelasnya.

Sementara, Ketua Umum SEKARPURA II, Trisna Wijaya, menjelaskan, selama pemberlakuan PCR bagi penumpang pesawat, banyak masyarakat yang urgent dikarenakan kemalangan, keluarga sakit kritis atau urgensi lainnya tidak dapat langsung menggunakan transportasi udara dan harus menunggu beberapa hari.

“Ada 2 (ua) hal yang disoroti oleh kami, yang pertama keluhan penumpang terhadap persyaratan penerbangan yang sangat sering berubah. Terlalu mahal, terlalu lama hasilnya, terlalu membingungkan dan keluhan lainnya. Selain diwajibkan vaksinasi, namun juga harus PCR,” kata Trisna Wijaya.

BACA JUGA :  Tarif PCR Turun, SEKARPURA II Apresiasi Langkah Cepat Pemerintah

Oleh karenanya, lanjut Trisna Wijaya, kebijakan terkait persyaratan wajib PCR tersebut ditinjau ulang dan diberlakukan sama antara Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali. Dimana dapat menggunakan Rapid Antigen dan Gnose bagi calon penumpang yang sudah divaksinasi.

“Karena kenyataannya, selain teknologi HEPA Filter yang ada di pesawat, penumpang tidak diperbolehkan makan minum dan harus menggunakan selalu masker saat di pesawat,” jelasnya.

Selain itu, kata Trisna Wijaya, Bandar Udara salah satunya Bandara Soekarno-Hatta yang dikelola AP II, telah mendapatkan banyak sertifikat terbaik penanganan Covid-19 oleh asosiasi internasional seperti dari ACI dan Skytrax.

“Adanya begitu banyak memperoleh penghargaan dari lembaga Internasional, meski di situasi yang sulit dan penuh keterbatasan, sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian. Misalnya, meminta Bank Himbara untuk mau memberikan pinjaman, memberikan insentif PSC kembali seperti yang dilakukan di Q4 2020 yang lalu. Kemudian juga memberikan PMN misalnya, agar saturasi oksigen kami masih bisa terjaga dengan baik, dan yang terpenting adalah memastikan operasional Bandar udara tetap terlaksana dengan baik,” harapnya. (R Rich)