BATAM – Putusan kontroversial Pengadilan Negeri (PN) Batam yang mengabulkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc (OMS) atas kepemilikan Kapal MT Arman 114 dan muatan minyak mentahnya memunculkan pertanyaan besar di kalangan publik, penegak hukum, dan akademisi. Berikut latar belakang lengkap kasus yang kini tengah menjadi sorotan nasional.
Awal Mula: Penangkapan Kapal dan Proses Hukum Pidana
Kapal MT Arman 114, berbendera Iran, ditangkap karena diduga melakukan pelanggaran hukum di perairan Indonesia, termasuk pelanggaran terkait pencemaran laut dan dugaan pengangkutan minyak ilegal.
Penangkapan tersebut berujung pada proses hukum pidana terhadap Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba, yang kemudian berstatus sebagai terdakwa.
Dalam perkara pidana Nomor: 941/Pid.Sus/2023/PN Btm, PN Batam memutuskan bahwa kapal berikut muatan light crude oil sebanyak 166.975,36 metrik ton disita untuk negara. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Setelah putusan pidana dijatuhkan, Ocean Mark Shipping Inc, yang mengklaim sebagai pemilik sah kapal dan muatan, mengajukan gugatan perdata terhadap Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Negeri Batam, selaku pihak yang menangani perkara pidana.
Gugatan tersebut terdaftar di PN Batam dengan nomor perkara: 323/Pdt.G/2024/PN Btm, pada tanggal 26 Agustus 2024. OMS menuntut agar pengadilan menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah kapal dan muatan yang sebelumnya telah dirampas dalam perkara pidana.
Pada 2 Juni 2025, PN Batam mengabulkan gugatan OMS. Putusan ini menciptakan benturan hukum serius karena bertolak belakang dengan putusan pidana yang telah menyita kapal dan muatannya untuk negara.
Dengan demikian, muncul dua putusan dari pengadilan yang sama, satu pidana dan satu perdata yang saling bertentangan mengenai objek yang sama.
Putusan ini langsung mendapat reaksi keras dari kalangan akademisi dan lembaga penegak hukum.
Pakar Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai putusan perdata tersebut berpotensi menjadi preseden buruk dalam sistem peradilan Indonesia, karena putusan perdata tidak bisa membatalkan atau mengabaikan putusan pidana yang inkracht.
“Kalau dibiarkan, ini membuka ruang manipulasi hukum. Barang bukti pidana tidak bisa diperlakukan seperti objek sengketa perdata biasa,” tegas Pohan.
Menanggapi putusan tersebut, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau menyatakan upaya hukum banding pada 4 Juni 2025. Kepala Kejati Kepri, Teguh Subroto, SH, MH, menyebut putusan tersebut keliru, khilaf, dan mencederai rasa keadilan.
“Kami yakin Pengadilan Tinggi akan mengoreksi putusan PN Batam. Ini penting untuk menjaga marwah hukum dan kepentingan negara,” tegas Teguh.
Kasus ini tidak hanya menyangkut hukum perdata dan pidana, tetapi juga aspek lingkungan hidup. Kapal MT Arman 114 diduga terlibat dalam pencemaran laut, yang menurut Agustinus Pohan harus dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jika OMS dianggap pemilik sah, maka mereka juga berpotensi dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran lingkungan yang terjadi.
Dengan banding yang diajukan Kejaksaan, publik kini menanti keputusan di tingkat yang lebih tinggi. Putusan akhir atas kasus ini akan menjadi ujian besar bagi sistem peradilan Indonesia dalam menjaga konsistensi hukum, kepentingan negara, dan kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif. ***