BATAM – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Batam yang memenangkan gugatan perdata Ocean Mark Shipping Inc (OMS) atas Kapal MT Arman 114 dan muatan minyak mentahnya dinilai sebagai preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, S.H., M.S., menegaskan bahwa langkah majelis hakim dalam perkara perdata ini berpotensi merusak sistem hukum, karena bertentangan dengan putusan pidana sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Putusan perdata ini mengabaikan prinsip dasar sistem peradilan. Kapal dan muatannya adalah barang bukti yang sudah dirampas untuk negara melalui putusan pidana inkracht,” ujar Pohan, Jumat (7/6/2025).
Ia menilai, dalam waktu yang berdekatan, dua majelis hakim di pengadilan yang sama mengeluarkan putusan yang saling bertolak belakang. Hal ini, menurutnya, berbahaya karena dapat digunakan sebagai celah oleh pihak-pihak yang ingin menghindari tanggung jawab pidana melalui gugatan perdata.
Agustinus memperingatkan bahwa membiarkan putusan perdata seperti ini berdiri tanpa koreksi justru akan membuka ruang manipulasi terhadap putusan pidana.
“Barang bukti dalam perkara pidana tidak boleh diperlakukan sebagai objek sengketa perdata. Itu bisa menjadi jalan pintas untuk membatalkan hasil penyidikan dan penuntutan,” katanya.
Menurutnya, keberadaan kapal MT Arman 114 dan muatannya bukan hanya soal kepemilikan, tetapi terkait erat dengan dugaan kejahatan lingkungan hidup, yang harus dituntaskan melalui jalur pidana.
Agustinus juga menyoroti bahwa muatan kapal tersebut, minyak mentah merupakan bagian dari operasi korporasi. Jika OMS diakui sebagai pemilik sah kapal dan muatan, maka korporasi itu juga dapat dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pencemaran laut.
“Jika mereka pemilik, mereka harus bertanggung jawab. Jangan hanya klaim hak, tapi lari dari kewajiban,” ujarnya.
Sebagai pihak tergugat, Kejaksaan telah menyatakan upaya hukum banding atas putusan PN Batam pada 4 Juni 2025. Kepala Kejaksaan Tinggi Kepri, Teguh Subroto, SH, MH, menyebut putusan tersebut keliru secara hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Hakim telah salah dalam menerapkan hukum. Kami yakin Pengadilan Tinggi akan mengoreksi putusan ini,” kata Teguh.
Pohan pun mendorong publik dan lembaga pengawasan untuk aktif mengawasi integritas hakim. Jika ada dugaan intervensi atau penyimpangan, menurutnya, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus turun tangan.
“Hakim bukan sosok yang kebal kritik. Transparansi dan akuntabilitas adalah syarat mutlak menjaga kepercayaan publik terhadap peradilan,” tegasnya.
Kasus sengketa Kapal MT Arman 114 yang melibatkan putusan perdata dan pidana yang saling bertentangan, kini menjadi ujian besar bagi konsistensi hukum dan keadilan di Indonesia.
Para ahli hukum dan aparat penegak hukum memperingatkan, jika tidak ditangani dengan tepat, kasus ini bisa menjadi pintu masuk pelemahan sistem peradilan nasional. ***