LINGGA (SK) — Rumah panggung dengan nuansa tradisional melayu, yang berada di Kampung Cina, Daik Lingga, masih kokoh berdiri meski usianya sudah mencapai 186 tahun. Rumah panggung yang merupakan milik kaum Keling di Daik Lingga ini, belum sedikit pun mengalami perubahan sejak awal dibangun pada tahun 1830 lalu. Walau disekeliling rumah tersebut telah di bangun rumah-rumah yang bergaya modern, namun rumah ini sangat menonjol dengan keunikan ornamennnya, serta ukiran yang menempel didinding yang memiliki khasanah kharismatik tersendiri, dan tidak terpengaruh dengan perkembangan zaman.
Maharani (62), pemilik rumah panggung tersebut, saat Sijori Kepri bertamu ke rumahnya menuturkan, Rumah panggung ini dibangun pada zaman Sultan. Rumah ini adalah warisan dari datok moyangnya, yang bernama Datok Tambi Abdul Rakhman, seorang pedagang kain dari bangsa Keling, India (Sri Lanka), pada zaman kesultanan Abdul Rahman Syah. Setelah berdagang ke Lingga, Datok Tambi Abdul Rakhman, beristrikan perempuan keturunan Melayu dan menetap di Daik Lingga. Dan, ia juga mendapatkan penghargaan pada era zaman Sultan Abdul Rahman, dan dianugerahi pangkat Letnan di Istana Kesultanan.
“Rumah ini warisan dari nenek moyang kami, yang dibangun pada Tahun 1830. Saya sendiri merupakan keturunan kelima. Sekarang ini diketurunan kami telah masuk ke keturunan yang ketujuh,” terang Guru yang telah pensiun di tahun 2014 lalu, Jumat, (03/06/2016).
Sebagai ahli waris dari Datok Tambi Abdul Rakhman, Maharani, menuturkan, rumah panggung ini pertama kali dibangun oleh orang Cina Tiongkok. Meski dari Keling, rumah ini bangunannya bergaya melayu. Orang biasa menyebut rumah ini dengan sebutan rumah besar. Seperti terdapat pada rumah umumnya yang memiliki beberapa ruangan, begitu juga dengan rumah ini, hanya keunikan dari rumah panggung ini, ruangannya memiliki nama-nama tersendiri. Seperti terdapat pada rumah panggung Melayu lainnya, pada bagian tangga yang terbuat dari beton, disisi kiri kanannya memiliki ukiran siput. Dari tangga kita masuk beranda, ruangan ini kalau dilihat seperti teras. Dan dari beranda, baru masuk keruang Serambi, ruang Serambi ini kalau dilihat ruang ini seperti ruang tamu. Uniknya, saat kita akan masuk keruang yang disebut ruang Tengah, terdapat tiga buah pintu. Ruang tengah ini, lebih kepada ruang keluarga.
“Dulunya, rumah ini memiliki tujuh buah bilik (kamar-Red), saat ini hanya tinggal empat buah bilik, yang tiganya lagi telah dibongkar karena telah rapuh termakan usia. Empat buah bilik yang tersisa yakni, satu kamar kepala keluarga, kamar ibu, serta kamar anak-anak. Dari empat bilik yang ada, uniknya, terdapat satu bilik dengan ukuran 2×3 M, yang diberi nama Bilik Salah. Dulunya, bilik ini berfungsi bagi anggota keluarga perempuan yang akan menikah. Bilik tersebut untuk memingit si perempuan. Biasa perempuan yang dipingit didalam bilik tersebut, empat hari sebelum hari H nya,” paparnya.
Selain bilik salah, lanjut Maharani, ada juga bilik Tekat (menyulam), hanya saja bilik tekat tersebut telah di bongkar. Bagi perempuan yang akan menyulam, akan masuk bilik tersebut. Boleh dikatakan bilik itu khusus untuk perempuan, karena bagi bangsa Keling perempuan disebut sebagai penyelamat keluarga.
“Bilik itu namanya bilik Tekat, sekarang sudah di bongkar,” ungkapnya.
Pada pintu masuk rumah panggung ini, ucap Maharani lagi, terdapat ukiran yakni, ukiran kaligrafi Muhammad Betangkup pada pintu masuk utama, yaitu, pintu masuk dan pintu keluar.
“Rumah ini, dulunya tempat berkumpul bagi pedagang Keling, yang berdagang sampai kesini,” unggahnya. (SK-Pus)